SEJARAH KEDOKTERAN NUKLIR
Sejarah
Penggunaan isotop radioaktif dalam bidang kedokteran
telah dimulai tahun 1901 oleh Henri Danlos yang menggunakan Radium untuk
pengobatan penyakit Tuberculosis pada kulit. Tetapi yang dianggap Bapak Ilmu Kedokteran
Nuklir adalah George C de Havessy. Dialah yang meletakkan dasar prinsip perunut
dengan menggunakan zat radioaktif. Waktu itu yang digunakan adalah radioisotop
alam Pb212. Dengan ditemukannya radioisotop buatan, maka radioisotop
alam tidak lagi digunakan.
Radioisotop buatan yang banyak dipakai pada masa awal
perkembangan kedokteran nuklir adalah I131. Pemakaiannya kini telah
terdesak oleh Tc99m, selain karena sifatnya yang ideal dari segi
proteksi radiasi dan pembentukan citra juga dapat diperoleh dengan mudah, serta
harga relatif murah. Namun demikian, I131 masih sangat diperlukan untuk
diagnostik dan terapi, khususnya kanker kelenjar tiroid.
Pengertian
Menurut WHO kedokteran Nuklir (Nuclear Medicine)
didefinisikan ; Merupakan cabang ilmu kedokteran yang menggunakan
sumber radiasi terbuka berasal dari disintegrasi inti radionuklida buatan,
untuk mempelajari perubahan fisiologi, anatomi dan biokimia, sehingga dapat
digunakan untuk tujuan diagnostik, terapi dan penelitian kedokteran.
Prinsip Dasar
Perkembangan serius kedokteran nuklir dimulai tahun
1950-an dengan terciptanya alat khusus yang disebut "kamera gamma".
Istilah tersebut mengacu ke penangkapan (Trace) sinar gamma.
Namun, berbeda dengan penggunaan sinar X atau CT-Scan yang radiasinya harus menembus
tubuh manusia untuk mendeteksi dan merekamnya ke dalam film atau komputer,
kedokteran nuklir justru menggunakan cara yang berlawanan. Materi radioaktif
dimasukkan ke tubuh pasien, kemudian dideteksi dengan kamera gamma tadi. Dengan
kata lain organ yang diperiksalah yang menjadi sumber radiasi sehingga pola
gambar yang terjadi berdasarkan pola organ yang memancarkan radiasi (sinar
gamma). Radioaktif yang digunakan berfungsi memancarkan sinar gamma yang
memiliki panjang gelombang lebih pendek daripada sinar X.
Radioisotop dapat dimasukkan ke tubuh pasien (studi in-vivo) maupun hanya direaksikan saja
dengan bahan biologis antara lain darah, cairan lambung, urine, dan sebagainya,
yang diambil dari tubuh pasien, yang lebih dikenal sebagai studi in-vitro (dalam gelas percobaan).
Pada studi in-vivo, setelah radioisotop dapat
dimasukkan ke tubuh pasien melalui mulut, suntikan, atau dihirup lewat hidung,
maka informasi yang dapat diperoleh dari pasien dapat berupa:
1.
Citra
atau gambar dari organ/bagian tubuh pasien yang diperoleh dengan bantuan
peralatan kamera gamma ataupun kamera positron (teknik imaging).
2.
Kurva-kurva
kinetika radioisotop dalam organ/bagian tubuh tertentu dan angka-angka yang
menggambarkan akumulasi radioisotop dalam organ/bagian tubuh tertentu disamping
citra atau gambar yang diperoleh dengan kamera gamma ataupun kamera positron
3.
Radioaktivitas
yang terdapat dalam contoh bahan biologis )darah, urine, dll) yang diambil dari
tubuh pasien, dicacah dengan instrumen yang dirangkaikan pada detektor radiasi
(teknik non-imaging).
Bahan dalam kedokteran nuklir yang dimasukkan ke dalam
tubuh baik melalui injeksi maupun ditelan disebut bahan radiofarmaka.
Radiofarmaka merupakan sediaan yang mengandung 2 bahan utama yaitu bahan radioisotop sebagi sumber
radiasi dan bahan yang berfungsi membawa bahan radioisotop ke jaringan (organ)
target. Radionuklide yang diserap organ tubuh kemudian memancarkan sinar gamma
yang - meski lemah - dapat diukur oleh kamera gamma.
Dengan memanfaatkan radiofarmaka dapat diperoleh
informasi yang didasarkan atas perubahan-perubahan fisiologik maupun biokimiawi
yang terjadi di dalam organ yang diperiksa pada tingkat sel maupun molekuler.
Inilah salah satu karakteristik dari kedokteran nuklir yang membedakannya dari
modalitas diagnostik lainnya yang didasarkan pada perubahan anatomi. Dengan
demikian, teknik kedokteran nuklir menjadi sangat sensitif dibandingkan dengan
teknik lainnya, karena pada umumnya kelainan fungsi
mendahului kelainan anatomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar