Kamis, 04 Oktober 2012

Kedokteran Nuklir Jantung


KEDOKTERAN NUKLIR JANTUNG





Indikasi

Secara umum teknik kedokteran nuklir dalam bidang kardiologi terbagi ke dalam 2 jenis yaitu ; Positron Emission Computed Tomography (PECT) dan Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT). PET mampu merekonstruksi data seperti pencitraan Computed Tomography (CT)  dapat digunakan untuk menilai fungsi jantung secara kualitatif dan kuantitatif pada saat istirahat maupun dengan pemberian beban latihan fisik atau farmakologis. Selain itu, dapat pula dilakukan penilaian fungsi jantung secara global maupun regional, juga dapat menginformasikan hal penting dalam menentukan stratifikasi dan prognosis PJK.
SPECT, bentuk pengujian yang lain dalam kedokteran nuklir, menggunakan kamera gamma dengan sistem komputer serupa. Dalam beberapa kasus, PECT lebih sensitif ketimbang SPECT, tetapi scan PECT lebih mahal dan biasanya hanya tersedia di rumah sakit besar. Hal lain yang menarik, perlengkapan modern kedokteran nuklir memberikan beragam kreasi gambar digital yang memungkinkannya untuk digunakan dalam berbagai keperluan.
Skintigrafi Jantung memiliki indiksi seperti ;  penyakit arteria koronaria, infark miokardial, penyakit pada katup jantung atau serangan jantung; untuk mendeteksi penolakan jantung cangkokan; memeriksa efektivitas bypass surgery; untuk memilih pasien untuk angioplasti atau opeasi bypass 

Untuk  menghasilkan pencitraan yang dapat menilai denyut jantung , cardiac ouput dan aliran darah (arteri koronaria) yang menyuplai darah pada otot jantung (miokardium) digunakan bahan radiofarmaka yang akan tertahan lama dalam peredaran darah (blood pool) dengan bahan radioisotop Tc 99 –m.
Penggunaan  Thalium (nomor atom 81) akan meuunjukkan fungsi dari miokardium. Penelitian tekanan Thaliummenggunakan dua macam data. Pertama, pasien diharuskan berlatih keras dengan alat khusus semacam treadmill atau sepeda stasioner untuk meningkatkan aktivitas kardiovaskuler dan tekanan pada jantungnya. Untuk data kedua, pasien harus istirahat dalam waktu tertentu, yaitu saat aktivitas jantung pasien kembali normal (atau dalam keadaan istirahat). Dalam kedaan normal tidak terjadi penyerapan radiofarmaka (perfusi) ke miokard.
Pencitraan perfusi miokard (PPM) mempunyai peran sangat penting dalam pengelolaan penderita PJK. Teknik ini di Amerika Serikat merupakan teknik pencitraan paling sering digunakan untuk diagnostik PJK dibandingkan dengantreadmill, ekhokardiografi, bahkan dengan angiografi sekalipun. Namun demikian, di Indonesia pemanfaatan teknik ini masih sangat terbatas.
Hal ini akibat berbagai faktor penghambat seperti informasi yang keliru mengenai kedokteran nuklir, ketersediaan fasilitas dan biaya, serta kurangnya komunikasi dengan ahli penyakit jantung.
PPM menggunakan Thallium (Tl)-201 sudah dimulai sejak tahun 1973. Aplikasi klinis yang penting pada PPM ada hubungannya dengan uji beban jantung.
PPM menggambarkan keadaan fungsional dan hemodinamik penyempitan dari pembuluh darah koroner . Selain Tl-201 radiofarmaka lain yang sering digunakan adalah Tc-99m-mibi atau tetrofosmin.
PPM sangat sensitif dan dapat diandalkan untuk visualisasi dini infark miokard, sehingga sangat bermanfaat untuk evaluasi penderita dengan keluhan nyeri dada disertai gambaran EKG yang tidak khas. Lebih dari 80% penderita dengan PPM abnormal terbukti menderita infark miokard akut. Sebaliknya tidak ada satupun penderita dengan PPM normal yang mengalami infark miokard akut.
PPM dapat juga digunakan untuk penentuan viabilitas yang sangat penting dalam praktek kardiologi modern. Viabilitas digunakan sebagai dasar penentuan stratifikasi risiko dan prognosis, serta pemilihan terapi yang tepat.
Stratifikasi ini sangat penting untuk seleksi penderita yang memerlukan tindakan revaskularisasi, baik cara operasi atauangioplasti. Jika PPM nomal, maka penderita tersebut memunyai risiko rendah dengan prognosis yang baik, walaupun tanpa pemeriksaan angiografi.
Pada kelompok ini, kemungkinan kematian akibat serangan jantung adalah 0,8%/tahun. Jika jumlah otot jantung yang mengalami kerusakan lebih besar dari 50% dari ketebalannya, maka perbaikan tidak akan terjadi, walaupun aliran darah diperbaiki. Pada 50% penderita infark miokard tapi masih viabel, tidak dilakukan revaskularisasi, akan mengalami serangan jantung atau meninggal mendadak dalam 1 tahun setelah didiagnosa.




Kelemahan

Penggunaan Bahan radioaktif pada tindakan kedokteran nuklir, memberikan paparan dosis radiasi, namun pada umumnya lebih lemah daripada radiasi yang ditimbulkan oleh sinar X atau CT-Scan. Untuk skintigrafi jantung aktivitas radioisotop sekitar 5 – 25 mCurrie.
Tak dapat dipungkiri untuk dapat mendeteksi penyakit pada stadium dini diperlukan teknik diagnostik canggih yang memerlukan biaya relatif mahal. Namun demikian, mahal tidaknya suatu pemeriksaan sebenarnya tidak dapat dinilai hanya dari besaran biaya per pemeriksaan, tetapi harus dilihat secara menyeluruh dalam pengelolaan suatu penyakit.
Analisis cost effectiveness menunjukkan, memasukkan pemeriksaan PPM dapat menurunkan biaya pelayanan pengelolaan PJK dengan cara mengurangi tindakan angiografi/revaskularisasi pada penderita risiko rendah hingga 50%-65%.



Sejarah Kedokteran Nuklir


SEJARAH KEDOKTERAN NUKLIR





Sejarah

Penggunaan isotop radioaktif dalam bidang kedokteran telah dimulai tahun 1901 oleh Henri Danlos yang menggunakan Radium untuk pengobatan penyakit Tuberculosis pada kulit. Tetapi yang dianggap Bapak Ilmu Kedokteran Nuklir adalah George C de Havessy. Dialah yang meletakkan dasar prinsip perunut dengan menggunakan zat radioaktif. Waktu itu yang digunakan adalah radioisotop alam Pb212. Dengan ditemukannya radioisotop buatan, maka radioisotop alam tidak lagi digunakan.
Radioisotop buatan yang banyak dipakai pada masa awal perkembangan kedokteran nuklir adalah I131. Pemakaiannya kini telah terdesak oleh Tc99m, selain karena sifatnya yang ideal dari segi proteksi radiasi dan pembentukan citra juga dapat diperoleh dengan mudah, serta harga relatif murah. Namun demikian, I131 masih sangat diperlukan untuk diagnostik dan terapi, khususnya kanker kelenjar tiroid.


Pengertian

Menurut WHO kedokteran Nuklir (Nuclear Medicine) didefinisikan ; Merupakan cabang ilmu kedokteran yang menggunakan sumber radiasi terbuka berasal dari disintegrasi inti radionuklida buatan, untuk mempelajari perubahan fisiologi, anatomi dan biokimia, sehingga dapat digunakan untuk tujuan diagnostik, terapi dan penelitian kedokteran.


Prinsip Dasar

Perkembangan serius kedokteran nuklir dimulai tahun 1950-an dengan terciptanya alat khusus yang disebut "kamera gamma". Istilah tersebut  mengacu ke penangkapan (Trace) sinar gamma. Namun, berbeda dengan penggunaan sinar X atau CT-Scan yang radiasinya harus menembus tubuh manusia untuk mendeteksi dan merekamnya ke dalam film atau komputer, kedokteran nuklir justru menggunakan cara yang berlawanan. Materi radioaktif dimasukkan ke tubuh pasien, kemudian dideteksi dengan kamera gamma tadi. Dengan kata lain organ yang diperiksalah yang menjadi sumber radiasi sehingga pola gambar yang terjadi berdasarkan pola organ yang memancarkan radiasi (sinar gamma). Radioaktif yang digunakan berfungsi memancarkan sinar gamma yang memiliki panjang gelombang lebih pendek daripada sinar X.
Radioisotop dapat dimasukkan ke tubuh pasien (studi in-vivo) maupun hanya direaksikan saja dengan bahan biologis antara lain darah, cairan lambung, urine, dan sebagainya, yang diambil dari tubuh pasien, yang lebih dikenal sebagai studi in-vitro (dalam gelas percobaan).
Pada studi in-vivo, setelah radioisotop dapat dimasukkan ke tubuh pasien melalui mulut, suntikan, atau dihirup lewat hidung, maka informasi yang dapat diperoleh dari pasien dapat berupa:

1.    Citra atau gambar dari organ/bagian tubuh pasien yang diperoleh dengan bantuan peralatan kamera gamma ataupun kamera positron (teknik imaging).
2.    Kurva-kurva kinetika radioisotop dalam organ/bagian tubuh tertentu dan angka-angka yang menggambarkan akumulasi radioisotop dalam organ/bagian tubuh tertentu disamping citra atau gambar yang diperoleh dengan kamera gamma ataupun kamera positron
3.    Radioaktivitas yang terdapat dalam contoh bahan biologis )darah, urine, dll) yang diambil dari tubuh pasien, dicacah dengan instrumen yang dirangkaikan pada detektor radiasi (teknik non-imaging).

Bahan dalam kedokteran nuklir yang dimasukkan ke dalam tubuh baik melalui injeksi maupun ditelan disebut  bahan radiofarmaka. Radiofarmaka merupakan sediaan yang mengandung 2 bahan utama yaitu  bahan radioisotop sebagi sumber radiasi dan bahan yang berfungsi membawa bahan radioisotop ke jaringan (organ) target. Radionuklide yang diserap organ tubuh kemudian memancarkan sinar gamma yang - meski lemah - dapat diukur oleh kamera gamma.
Dengan memanfaatkan radiofarmaka dapat diperoleh informasi yang didasarkan atas perubahan-perubahan fisiologik maupun biokimiawi yang terjadi di dalam organ yang diperiksa pada tingkat sel maupun molekuler. Inilah salah satu karakteristik dari kedokteran nuklir yang membedakannya dari modalitas diagnostik lainnya yang didasarkan pada perubahan anatomi. Dengan demikian, teknik kedokteran nuklir menjadi sangat sensitif dibandingkan dengan teknik lainnya, karena pada umumnya kelainan fungsi mendahului kelainan anatomi.


SEJARAH KEDOKTERAN NUKLIR




Sejarah
Penggunaan isotop radioaktif dalam bidang kedokteran telah dimulai tahun 1901 oleh Henri Danlos yang menggunakan Radium untuk pengobatan penyakit Tuberculosis pada kulit. Tetapi yang dianggap Bapak Ilmu Kedokteran Nuklir adalah George C de Havessy. Dialah yang meletakkan dasar prinsip perunut dengan menggunakan zat radioaktif. Waktu itu yang digunakan adalah radioisotop alam Pb212. Dengan ditemukannya radioisotop buatan, maka radioisotop alam tidak lagi digunakan.
Radioisotop buatan yang banyak dipakai pada masa awal perkembangan kedokteran nuklir adalah I131. Pemakaiannya kini telah terdesak oleh Tc99m, selain karena sifatnya yang ideal dari segi proteksi radiasi dan pembentukan citra juga dapat diperoleh dengan mudah, serta harga relatif murah. Namun demikian, I131 masih sangat diperlukan untuk diagnostik dan terapi, khususnya kanker kelenjar tiroid.



Pengertian
Menurut WHO kedokteran Nuklir (Nuclear Medicine) didefinisikan ; Merupakan cabang ilmu kedokteran yang menggunakan sumber radiasi terbuka berasal dari disintegrasi inti radionuklida buatan, untuk mempelajari perubahan fisiologi, anatomi dan biokimia, sehingga dapat digunakan untuk tujuan diagnostik, terapi dan penelitian kedokteran.




Prinsip Dasar
Perkembangan serius kedokteran nuklir dimulai tahun 1950-an dengan terciptanya alat khusus yang disebut "kamera gamma". Istilah tersebut  mengacu ke penangkapan (Trace) sinar gamma. Namun, berbeda dengan penggunaan sinar X atau CT-Scan yang radiasinya harus menembus tubuh manusia untuk mendeteksi dan merekamnya ke dalam film atau komputer, kedokteran nuklir justru menggunakan cara yang berlawanan. Materi radioaktif dimasukkan ke tubuh pasien, kemudian dideteksi dengan kamera gamma tadi. Dengan kata lain organ yang diperiksalah yang menjadi sumber radiasi sehingga pola gambar yang terjadi berdasarkan pola organ yang memancarkan radiasi (sinar gamma). Radioaktif yang digunakan berfungsi memancarkan sinar gamma yang memiliki panjang gelombang lebih pendek daripada sinar X.
Radioisotop dapat dimasukkan ke tubuh pasien (studi in-vivo) maupun hanya direaksikan saja dengan bahan biologis antara lain darah, cairan lambung, urine, dan sebagainya, yang diambil dari tubuh pasien, yang lebih dikenal sebagai studi in-vitro (dalam gelas percobaan).
Pada studi in-vivo, setelah radioisotop dapat dimasukkan ke tubuh pasien melalui mulut, suntikan, atau dihirup lewat hidung, maka informasi yang dapat diperoleh dari pasien dapat berupa:
1.    Citra atau gambar dari organ/bagian tubuh pasien yang diperoleh dengan bantuan peralatan kamera gamma ataupun kamera positron (teknik imaging).
2.    Kurva-kurva kinetika radioisotop dalam organ/bagian tubuh tertentu dan angka-angka yang menggambarkan akumulasi radioisotop dalam organ/bagian tubuh tertentu disamping citra atau gambar yang diperoleh dengan kamera gamma ataupun kamera positron
3.    Radioaktivitas yang terdapat dalam contoh bahan biologis )darah, urine, dll) yang diambil dari tubuh pasien, dicacah dengan instrumen yang dirangkaikan pada detektor radiasi (teknik non-imaging).


Bahan dalam kedokteran nuklir yang dimasukkan ke dalam tubuh baik melalui injeksi maupun ditelan disebut  bahan radiofarmaka. Radiofarmaka merupakan sediaan yang mengandung 2 bahan utama yaitu  bahan radioisotop sebagi sumber radiasi dan bahan yang berfungsi membawa bahan radioisotop ke jaringan (organ) target. Radionuklide yang diserap organ tubuh kemudian memancarkan sinar gamma yang - meski lemah - dapat diukur oleh kamera gamma.
Dengan memanfaatkan radiofarmaka dapat diperoleh informasi yang didasarkan atas perubahan-perubahan fisiologik maupun biokimiawi yang terjadi di dalam organ yang diperiksa pada tingkat sel maupun molekuler. Inilah salah satu karakteristik dari kedokteran nuklir yang membedakannya dari modalitas diagnostik lainnya yang didasarkan pada perubahan anatomi. Dengan demikian, teknik kedokteran nuklir menjadi sangat sensitif dibandingkan dengan teknik lainnya, karena pada umumnya kelainan fungsi mendahului kelainan anatomi.